Kajian Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji

aqidah Ahlussunnah Waljamaah, paham Ahlussunnah Waljamaah, kajian Ahlussunnah Waljamaah Kajian Aswaja Annahdliyah, merupakan kajian yang sering menjadi kontroversi, kajian aswaja merupakan kajian penting dalam lingkar tradisi Nu, sehingga kami rasa topik ini layak untuk terus diinormasikan kepada semua pembaca. Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang, mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang membedakan Aswaja dengan aliran lain ?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah warga NU seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar amaliyah warga NU termasuk bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk kategori sunnah ? Wacana bid’ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah warga NU secara terus menerus. Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa mengamalkan tradisinya secara nyaman dan tenang. Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika zaman.

Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja. Salah satunya adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam membaca realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif. Persoalan muncul lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya. Disinilah pentingnya membumikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya supaya operasional kuatitatif sehingga bisa meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.

Latar Belakang Historis Lahirnya Aswaja, Kajian Aswaja Annahdliyah

Lahirnya Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh dalam Islam  wafatnya  Rasulullah  Saw.  Setelah  Rasulullah  Saw  wafat  peran sebagai  kepala  Negara  digantikan  oleh  para  sahabat-sahabatnya,  yang  disebut khulafaur Rasyidin  yakni Abu  Bakar,  Umar bin  Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali  bin Abi  Thalib.  Namun,  ketika  pada  masa  Utsman  bin Affan  mulai  timbul adanya  perpecahan  antara  umat  Islam  yang  disebabkan  oleh  banyaknya  fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah  teologis. Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam lingkungan umat Islam, dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara tajam dan sulit untuk didamaikan. Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang sesat  bertumpu pada 7 firqah yaitu :
Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya. I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.

Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.

Hubungan NU & Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.

Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama yaitu : Pertama, Usaha untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah air (untuk Persatuan dan Kesatuan). Kedua, Berkembangnya Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah, haram Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh untuk orang yang telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz.

Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul ‘Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.

Sejak awal Nahdlatul ‘Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama’ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para sahabat). Menurut NU, faham Ahlusunnah wal Jama’ah tidak dapat dipisahkan dari haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Khittah NU pada butir 3 sebagai berikut :

a.     Nahdlatul ‘Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur’an, As-Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas.
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan al-Madzhab, yaitu:  Pertama, dalam bidang aqidah, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. Kedua, dalam bidang hukum Islam (fiqih), Nahdlatul ‘Ulama mengikuti jalan pendekatan (al Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Ketiga, dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali, serta imam-imam yang lain.
Aswaja sebagai Mazhab

Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya. Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly;

KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan  sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr  tidak terlepas dari  pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain :

Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).
Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka  berpikir  yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah  itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul ‘Ulama  tidak  tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam bertindak  sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994). Nahdlatul ‘Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter Ahlusunnah wal Jama’ah (Manhajul Amaly). Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul ‘Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :

1.     At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.

2.     Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.

3.     At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.

4.     At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.

5.     Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.

Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan dikembangkan juga sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode berpikir dan bertinadak yang berarti menjadi alat (tools) untuk  mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai  permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi lebih  bersemangat  guna  melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini  pendapat  para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas. Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif). Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal :

(1)   Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;

(2)   Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);

(3)   Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’);

(4)   Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;

(5)   Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.

Dalam upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan berkeadilan bagi semua”,  perlu upaya dan strategi yang terencana dan dapat diaplikasikan secara efektif di semua tingkatan dengan tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra struktur NU yang kuat dan mandiri. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi:
(1)   Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok masyarakat terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal, dan melakukan aksi-aksi praktis pendampingan kelompok-kelompok warga pada tingkat local dan akar rumput;
(2)   Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha warga atau organisasi NU, membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah, swasta dengan menerapkan manajemen keuangan yang professional, transparan dan akuntabel;
(3)   Perspektif organisasi,  mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern, rasional, dan terpercaya dengan berbdasis teknologi informasi dimana mekanisme, pembinaan dan penguatan berjalan efektif dengan orientasi yang jelas pada kepentingan warga;
(4)   Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM multi disiplin dan talenta yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan konsisten dengan semangat pengorbanan dan kesetiakawanan yang tinggi bagi tercapainya tujuan bersama.

Demikian informasi kami sampaikan terkait Kajian Aswaja Annahdliyah.

__________________

Sumber bacaan :
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005)
Badrun Alaina, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, (Yogyakarta,, 2000)
Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta, 1993).
Syaifuddin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Aswaja dalam Praktik, PP.IPNU, (Jakarta, 1976).
Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002).
Tim PWNU Jawa Timur, Ahlusunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, “Khalista” Surabaya bekerja sama dengan  Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007).